Sebuahhh kisah cinta yg fantastik menurut saya..
sangattt mengagumkan dan mbuat hati saya iri..
sungguh cinta yg penuh pengorbanan, ke ikhlasan dan Luar biasa.
satuu yg mirip dg kisah masa Lalu, yg bs saya petik "CINTA ADL PENGORBANA"
penasaran? ikuti sampai akhir ya.. :D
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun.
Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi, sungguh
memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. ***
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka
memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan
hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke
luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata
gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak
layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang
semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba
dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak
memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang
tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah
dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya
dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak
awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu
Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu. ”Allah mengujiku rupanya”, begitu
batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia
bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya
pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr
menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas
menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.. Lihatlah juga
bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan
saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman,
’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti
’Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir
yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn
Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu
Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ’Ali
hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan
cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku
mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah
meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia
adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata
Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk
mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu
Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki- laki lain yang
gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum
muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki- laki yang membuat
syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ’Umar ibn
Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu
juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan
ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar
pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya
’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih
dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku
datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan
’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..” Betapa tinggi
kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan
bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul
sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi
karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia
hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia
mencari bayang- bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke
atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab
akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya
menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar
di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi
sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda
yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah!
Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha. Cinta tak pernah meminta
untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau
mempersilakan. Yang ini pengorbanan. Maka ’Ali bingung ketika kabar itu
meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang
dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah
menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’
kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua
menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di
antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan
kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang
tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang
lincah penuh semangat itu? ”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”,
kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau
tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang
ditunggu-tunggu Baginda Nabi..” ”Aku?”, tanyanya tak yakin. ”Ya. Engkau
wahai saudaraku!” ”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
Ali pun menghadap
Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya
untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada
yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana
ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua
atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah
menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan.
Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai
’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab
atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-
pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya
berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum
Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu
sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan
daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi
menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu
menyakitkan. ”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..” ”Apa maksudmu?” ”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’
berarti sebuah jawaban!” ”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf
kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan
saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan
kawan! Dua-duanya berarti ya!” Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan
menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan
kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu
hutang.?
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang
Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka
menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum
menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada
seorang pemuda” ‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau
mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu” Sambil tersenyum Fathimah
berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” Wallohu a'lam
SUBHANALLAH :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar